Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2016

Andy dan Tia - Monolog Seorang Barista

Kenapa kau tidak mahu menyentuh kertas kesat mulut itu? Kau tahu bukan, yang serviette itu aku sengaja sisipkan di sisi cawan teh chamomile yang kau pesan tadi. Cubalah buka dan lihat isinya.  Ada sebuah puisi itu yang sudah aku karang sejak pertama kali kau mampir di kafe ini. Tetapi selamanya aku terus menyimpannya dan aku ranumkan bait-baitnya di dalam kepala. Hinggalah tiba hari ini, kau pesan secangkir teh untuk menemanimu yang mau menikmati senja. Oh, kau tidak akan menyentuh serviette itu? Barangkali aku cuma pencinta bodoh yang mengharapkan kau lakukan sesuatu yang tidak menjadi kemestian sepertimana kau mengharapkan mentari jingga itu mengusikmu di balik jendela kaca.  Lalu kau pergi. Teh yang kau pesan masih berbaki bersama cinta yang bergenang di permukaannya. 

Andy dan Tia - Suara yang tenggelam

Andy mencari Tia. Dalam beberapa detik, dia terlihat keberadaan wanita itu di luar pintu, melemparkan pandangan pada jalan raya yang sesak. Bunyi kereta berasak-asak yang menuju terowong malam terus saling kejar-mengejar untuk melangsungkan tanggungjawab pada tuannya. Semoga semuanya selamat sampai dalam rangkulan keluarga.  Andy merapati Tia. Tidak seperti selalu, malam itu dia berdiri di samping wanita itu. Setelah mendekat, dia merenung wajah wanita itu yang masih leka mendoakan pemilik-pemilik kenderaan dari tingkat 6 itu. Tia menyedari kelakuan Andy lalu dia memutuskan pandangannya dan berkalih pada suaminya. "Sejak kita bernikah, aku tidak pernah mendengar suaramu lagi, sayangku." Tia terketawa kecil. Sudah pasti lelaki di sebelahnya tidak bermaksud secara literal. Menjadi isteri, Tia telah membuang dirinya sebenar. Dia terus kembali merenung jalan raya malam itu. Tidak perlu lama, dia langsung berkata, "Suaraku sudah aku serahkan menjadi milikmu